Rabu, 02 September 2020

Otonomi Desa Menurut Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa

 


Indonesia sebagai sebuah negara dibangun diatas dan dari desa. Dan desa adalah pelopor sistem demokrasi yang otonom dan berdaulat penuh. Sejak lama, desa telah memiliki sistem dan mekanisme pemerintahan serta norma sosial masing-masing. Inilah yang menjadi cikal bakal sebuah negara bernama Indonesia ini. Namun, sampai saat ini pembangunan desa masih dianggap seperempat mata oleh pemerintah. Kebijakan pemerintah terkait pembangunan desa terutama pembangunan sumber daya manusianya sangat tidak terpikirkan. Istilah desa disesuaikan dengan asal-usul, adat istiadat, dan nilai-nilai budaya masyarakat di setiap daerah otonom di Indonesia. Setelah UUD 1945 diamandemen, istilah desa tidak lagi disebut secara eksplisit.

Desa atau yang disebut dengan nama lain telah ada sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk. Sebagai bukti keberadaannya, Penjelasan Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (sebelum perubahan) menyebutkan bahwa “Dalam territori Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 “Zelfbesturende landschappen” dan “Volksgemeenschappen”, seperti desa di Jawa dan Bali, Nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang, dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan Asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal usul daerah tersebut”. Oleh sebab itu, keberadaannya wajib tetap diakui dan diberikan jaminan keberlangsungan hidupnya dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Keberagaman karakteristik dan jenis desa, atau yang disebut dengan nama lain, tidak menjadi penghalang bagi para pendiri bangsa (founding fathers) ini untuk menjatuhkan pilihannya pada bentuk negara kesatuan. Meskipun disadari bahwa dalam suatu negara kesatuan perlu terdapat homogenitas, tetapi Negara Kesatuan Republik Indonesia tetap memberikan pengakuan dan jaminan terhadap keberadaan kesatuan masyarakat hukum dan kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya.

Dalam kaitan susunan dan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengaturan desa atau disebut dengan nama lain dari segi pemerintahannya mengacu pada ketentuan Pasal 18 ayat (7) yang menegaskan bahwa “Susunan dan tata cara penyelenggaraan Pemerintahan Daerah diatur dalam undang-undang”. Hal itu berarti bahwa Pasal 18 ayat (7) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 membuka kemungkinan adanya susunan pemerintahan dalam sistem pemerintahan Indonesia.

Melalui perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat dipertegas melalui ketentuan dalam Pasal 18B ayat (2) yang berbunyi “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.

Dalam sejarah pengaturan Desa, telah ditetapkan beberapa pengaturan tentang Desa, yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desa Praja Sebagai Bentuk Peralihan Untuk Mempercepat Terwujudnya Daerah Tingkat III di Seluruh Wilayah Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok- Pokok Pemerintahan di Daerah, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Desa memiliki hak otonomi asli berdasarkan hukum adat, dapat menentukan susunan pemerintahan, mengatur dan mengurus rumah tangga, serta memiliki kekayaan dan aset. oleh karena itu, eksistensi desa perlu ditegaskan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat desa. Namun, deregulasi dan penataan desa pasca beberapa kali amandemen terhadap konstitusi negara serta peraturan perundangannya menimbulkan perspektif baru tentang pengaturan desa di Indonesia.  Dengan di undangkannya Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa , sebagai sebuah kawasan yang otonom memang diberikan hak-hak istimewa, diantaranya adalah terkait pengelolaan keuangan dan alokasi dana desa, pemilihan kepala desa  serta proses pembangunan desa .

Otonomi desa merupakan otonomi asli, bulat, dan utuh serta bukan merupakan pemberian dari pemerintah. Sebaliknya pemerintah berkewajiban menghormati otonomi asli yang dimiliki oleh desa tersebut. Sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak istimewa, desa dapat melakukan perbuatan hukum baik hukum publik maupun hukum perdata, memiliki kekayaan, harta benda serta dapat dituntut dan menuntut di muka pengadilan.

Bagi desa, otonomi yang dimiliki berbeda dengan otonomi yang dimiliki  oleh  daerah propinsi maupun daerah kabupaten dan daerah kota. Otonomi yang dimiliki oleh desa adalah berdasarkan asal-usul dan adat istiadatnya, bukan berdasarkan penyerahan wewenang dari pemerintah. Desa atau nama lainnya, yang selanjutnya disebut desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di daerah kabupaten. Landasan pemikiran yang perlu dikembangkan saat ini adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokrasi, dan pemberdayaan masyarakat.

Daerah kabupaten  atau kota seuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Otonomi desa merupakan hak, wewenang dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat berdasarkan hak asal-usul dan nilai-nilai sosial budaya yang ada pada masyarakat untuk tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan desa tersebut. Urusan pemerintahan berdasarkan asal-usul desa, urusan yang menjadi wewenang pemerintahan Kabupaten atau Kota diserahkan pengaturannya kepada desa.

Namun harus selalu diingat bahwa tiada hak tanpa kewajiban, tiada kewenangan tanpa tanggungjawab dan tiada kebebasan tanpa batas. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan hak, kewenangan dan kebebasan dalam penyelenggaraan otonomi desa harus tetap menjunjung nilai-nilai tanggungjawab terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan menekankan bahwa desa adalah bagian yang tidak terpisahkan dari bangsa dan negara Indonesia. Pelaksanaan hak, wewenang dan kebebasan otonomi desa menuntut tanggungjawab untuk memelihara integritas, persatuan dan kesatuan bangsa dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tanggungjawab untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang dilaksanakan dalam koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku .

Menurut Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa Pasal 18 kewenangan desa meliputi kewenangan di bidang penyelenggaraan pemerintahan desa,  pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat  desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat desa. Dan menurut Pasal 19 Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa kewenangan desa meliputi:

1.      kewenangan berdasarkan hak asal usul;

2.      kewenangan lokal berskala Desa;

3.      kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah

4.      Kabupaten/Kota; dan

5.      kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 200 dan 216 menyatakan bahwa  desa di kabupaten/kota memiliki kewenangan-kewenangan yang dapat diatur secara bersama antara pemerintah desa dan BPD yang dimaksudkan untuk meningkatkan pelayananan kepada masyarakat. Penyelenggaraan desa yang otonom dengan kewenangan yang dilimpahkan tersebut pada dasarnya merupakan proses yang terjadi secara simultan dan berkesinambungan yang memerlukan pengetahuan aparatur daerah tentang kewenangan mereka, potensi daerah dan menjaring aspirasi masyarakat di wilayahnya. Yang menjadi pertanyaan apakah otonomi asli sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tersebut masih ada di desa-desa Indonesia. Transformasi sosial ekonomi selama enam puluh (60) tahun sejak Indonesia merdeka menyebabkan banyak perubahan yang signifikan pada praktek penyelenggaraan pemerintahan desa. Sebagian besar desa-desa di pulau Jawa telah mengalami perubahan ruang menjadi kota atau desa-kota.  Sementara itu sebagian besar desa-desa di pulau Sumatera mengalami trasnformasi menjadi desa industri perkebunan, terutama perkebunan sawit dan karet.  Perubahan struktur ekonomi desa kontemporer ini menyebabkan urusan-urusan pemerintah desa pun mengalami pergeseran dari sektor pertanian ke sektor non pertanian.  Kewenangan atau urusan desa yang dulunya dikenal dengan otonomi asli pun menjadi hilang dan atau mengalami perubahan bentuk.

Dalam Undang – Undang No. 32 Tahun 2004 disebutkan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa mencakup  :

1.      urusan pemerintahan  yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa, urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa,

2.      tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah provinsi, dan atau pemerintah kabupaten/kota dan yang terakhir urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-perundangan diserahkan kepada desa. Tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan/atau pemerintah Kabupaten/kota kepada desa disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia.

Dalam pengaturan perundangan, pemerintah desa selalu disebutkan terdiri dari 2 (dua) unsur yaitu kepala pemerintahan dan wakil-wakil rakyat. Dalam Undang – Undang No. 19 tahun 1965 pemerintahan desa terdiri atas Kepala Desa dan Badan Musyawarah Desa, dan pada Undang – Undang No. 5 tahun 1979 pemerintah desa terdiri dari Kepala Desa dan Lembaga Musyawarah Desa. Sedangkan di bawah Undang – Undang No. 22 tahun 1999 pemerintahan desa terdiri dari Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa, dan Pemerintah Desa terdiri atas Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain dan Perangkat Desa dan menurut Undang – Undang No. 32 Tahun 2004 pemerintahan desa terdiri atas kepala desa dan perangkat desa

Dari keempat Undang – Undang tersebut kelihatannya terjadi “fluktuasi” otonomi desa. Pada Undang – Undang yang pertama disebutkan adanya badan musyawarah desa yang secara tegas sebagai lembaga perwakilan rakyat, sehingga anggota-anggotanya dipilih langsung oleh warga masyarakat; sementara pada UU yang kedua LMD hanyalah lembaga musyawarah yang anggota-anggotanya tidak dipilih oleh rakyat akan tetapi diangkat lebih karena pilihan atau penunjukan Kepala Desa sendiri dan Kepala Desa secara otomatis menjadi ketua LMD. Lain halnya pada Undang – Undang No. 22 tahun 1999 dimana otonomi desa sedemikian luasnya, sehingga desa diberikan keleluasaan untuk mengadakan kegitan yang dapat dipakai untuk meningkatkan dan mendapatkan hasil-hasil atau dana yang bisa dipakai untuk membiayai kegiatan-kegiatannya.

Demikian halnya pada Undang – Undang No. 32 Tahun 2004, lembaga musyawarah desa berubah menjadi badan permusyawaratan desa yang berfungsi menetapkan peraturan desa bersama kepala desa, menampung dan menyatukan aspirasi masyarakat. Anggota badan permusyawaratan desa aadalah wakil dari penduduk desa yang bersangkutan yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat. Selain Badan Permusyawaratan Desa menurut undang-undang ini juga dapat dibentuk lembaga kemasyarakatan yang ditetapkan dengan peraturan desa yang berpedoman pada peraturan perundang-undangan, lembaga ini bertugas membantu pemerintahan desa dan merupakan mitra dalam memberdayakan masyarakat desa.

Menurut Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa Pasal 18 Kewenangan Desa meliputi kewenangan di bidang penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat Desa. Dan menurut Pasal 19 Kewenangan Desa meliputi:

1.      kewenangan berdasarkan hak asal usul;

2.      kewenangan lokal berskala Desa;

3.      kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota; dan

4.      kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pencermatan lebih mendalam menunjukkan bahwa konflik penguasaan kewenangan terutama disebabkan karena adanya kewenangan yang menghasilkan penerimaan, yaitu adanya kecenderungan perebutan kewenangan antar tingkatan pemerintahan untuk memperoleh sumber-sumber keuangan yang berasal dari kewenangan tersebut. Kewenangan-kewenangan yang menghasilkan sumber penerimaan cenderung bermasalah, sedangkan kewenangan yang kurang menghasilkan penerimaan  dan atau memerlukan biaya cenderung untuk dihindari.

Friksi  pada dasarnya berpangkal dari siapa yang mempunyai kewenangan secara hukum atas hal yang disengketakan tersebut.  Motif utama yang mendorong bukanlah persoalan untuk memberikan pelayanan masyarakat pada hal yang disengketakan tersebut, namun lebih pada bagaimana menguasai sumber-sumber pendapatan yang dihasilkan dari kewenangan yang disengketakan tersebut. Daerah menganggap bahwa dengan adanya otonomi maka kebutuhan uang mereka menjadi tidak terbatas, sedangkan PAD dan DAU terbatas sehingga hal tersebut menarik mereka untuk menambah sumber-sumber penerimaan dari penguasaan obyek-obyek yang dapat menghasilkan tambahan penerimaan daerah.

Analisis yang lebih fundamental mengindikasikan bahwa keberadaan unit pemerintahan daerah bertujuan unuk melayani kebutuhan masyarakat (public service). Ini berarti tiap daerah akan mempunyai keunikan sendiri-sendiri baik dari aspek penduduk, maupun karakter geografisnya. Masyarakat pantai dengan mata pencaharian utama di perikanan akan berbeda dengan masyarakat pegunungan, ataupun masyarakat pedalaman. Masyarakat pedesaan akan berbeda kebutuhannya dengan masyarakat daerah perkotaan. Apabila keberadaan Pemda untuk melayani kebutuhan masyarakat, maka konsekuensinya urusan yang dilimpahkanpun seyogyanya berbeda pula dari satu daerah dengan daerah lainnya sesuai dengan perbedaan karakter geografis dan mata pencaharian utama penduduknya. Adalah sangat tidak logis apabila di sebuah daerah kota sekarang ini masih dijumpai urusan-urusan pertanian, perikanan, peternakan, dan urusan-urusan yang berkaitan dengan kegiatan primer. Pelimpahan urusan otonomi yang sesuai dengan kebutuhannya. Untuk itu analisis kebutuhan (need assessment) merupakan suatu keharusan sebelum urusan itu diserahkan ke suatu daerah otonom.

Pada dasarnya kebutuhan rakyat dapat dikelompokkan kedalam dua hal yaitu :

1.      Kebutuhan dasar (basic needs) seperti air, kesehatan, pendidikan, lingkungan, keamanan, dsb;

2.      Kebutuhan pengembangan usaha masyarakat seperti pertanian, perkebunan, perdagangan, industri dan sebagainya;

Dalam konteks otonomi, daerah dan desa harus mempunyai kewenangan untuk mengurus urusan-urusan yang berkaitan dengan kedua kelompok kebutuhan diatas. Kelompok kebutuhan dasar adalah hampir sama diseluruh Indonesia hanya gradasi kebutuhannya saja yang berbeda. Sedangkan kebutuhan pengembangan usaha penduduk sangat erat kaitannya dengan karakter daerah, pola pemanfaatan lahan dan mata pencaharian penduduk.

Berbeda dengan negara maju dimana pembangunan usaha sebagian besar sudah dijalankan oleh pihak swasta, maka di Negara Indonesia sebagai negara berkembang, peran pemerintah masih sangat diharapkan untuk menggerakkan usaha masyarakat. Kewenangan untuk menggerakkan usaha atau ekonomi masyarakat masih sangat diharapkan dari pemerintah. Pemda di negara maju lebih beerorientasi untuk menyediakan kebutuhan dasar (basic services) masyarakat. Untuk itu, maka Pemda di Indonesia mempunyai kewenangan (otonomi) untuk menyediakan pelayanan kebutuhan dasar dan pelayanan pengembangan usaha ekonomi masyarakat lokal.

Dalam memberikan otonomi untuk pelayanan kebutuhan dasar dan pelayanan pengembangan usaha ekonomi masyarakat, ada tiga hal yang perlu dipertimbangkan yaitu :

1.      Economies of scale :  bahwa penyerahan urusan itu akan menciptakan efisiensi, efektifitas dan ekonomis dalam penyelenggaraanya. Ini berkaitaan dengan economies of scale (skala ekonomis) dalam pemberian pelayanan tersebut. Untuk itu harus ada kesesuaian antara skala ekonomis dengan catchment area (cakupan daerah pelayanan). Persoalannya adalah sejauhmana skala ekonomis itu sesuai dengan batas-batas wilayah administrasi Pemda yang sudah ada. Makin luas wilayah yang diperlukan untuk mencapai skala ekonomis akan makin tinggi otoritas yang diperlukan. Bandara dan pelabuhan yang cakupan pelayanannya antar provinsi adalah menjadi tanggung jawab nasional.

2.      Akuntabilitas : bahwa penyerahan urusan tersebut akan menciptakan akuntabilitas pemda pada masyarakat. Ini berarti bagaimana mendekatkan pelayanan tersebut kepada masyarakat. Makin dekat unit pemerintaahan yang memberikan pelayanan kepada masyaarakat akan makin mendukung akuntabilitas.

3.      Eksternalitas : dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan yang memerlukan pelayanan tersebut. Eksternalitas sangat terkait dengan akuntabilitas. Makin luas eksternalitas yang ditimbulkan akan makin tinggi otoritas yang diperlukan untuk menangani urusan tersebut. Contoh, sungai atau hutan yang mempunyai eksternalitas regional seyogyanya menjadi tanggung jawab Provinsi untuk mengurusnya.

 

Sumber : lbhsembilandelapan.wordpress.com