Indonesia
sebagai sebuah negara dibangun diatas dan dari desa. Dan desa adalah pelopor
sistem demokrasi yang otonom dan berdaulat penuh. Sejak lama, desa telah
memiliki sistem dan mekanisme pemerintahan serta norma sosial masing-masing.
Inilah yang menjadi cikal bakal sebuah negara bernama Indonesia ini. Namun,
sampai saat ini pembangunan desa masih dianggap seperempat mata oleh pemerintah.
Kebijakan pemerintah terkait pembangunan desa terutama pembangunan sumber daya
manusianya sangat tidak terpikirkan. Istilah desa disesuaikan dengan asal-usul,
adat istiadat, dan nilai-nilai budaya masyarakat di setiap daerah otonom di
Indonesia. Setelah UUD 1945 diamandemen, istilah desa tidak lagi disebut secara
eksplisit.
Desa
atau yang disebut dengan nama lain telah ada sebelum Negara Kesatuan Republik
Indonesia terbentuk. Sebagai bukti keberadaannya, Penjelasan Pasal 18
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (sebelum perubahan)
menyebutkan bahwa “Dalam territori Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 “Zelfbesturende
landschappen” dan “Volksgemeenschappen”, seperti desa di Jawa dan
Bali, Nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang, dan sebagainya.
Daerah-daerah itu mempunyai susunan Asli dan oleh karenanya dapat dianggap
sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati
kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai
daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal usul daerah tersebut”. Oleh
sebab itu, keberadaannya wajib tetap diakui dan diberikan jaminan
keberlangsungan hidupnya dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Keberagaman
karakteristik dan jenis desa, atau yang disebut dengan nama lain, tidak menjadi
penghalang bagi para pendiri bangsa (founding fathers) ini untuk
menjatuhkan pilihannya pada bentuk negara kesatuan. Meskipun disadari bahwa
dalam suatu negara kesatuan perlu terdapat homogenitas, tetapi Negara Kesatuan
Republik Indonesia tetap memberikan pengakuan dan jaminan terhadap keberadaan
kesatuan masyarakat hukum dan kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak
tradisionalnya.
Dalam
kaitan susunan dan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, setelah perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengaturan desa atau
disebut dengan nama lain dari segi pemerintahannya mengacu pada ketentuan Pasal
18 ayat (7) yang menegaskan bahwa “Susunan dan tata cara penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah diatur dalam undang-undang”. Hal itu berarti bahwa Pasal 18
ayat (7) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 membuka
kemungkinan adanya susunan pemerintahan dalam sistem pemerintahan Indonesia.
Melalui
perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengakuan
terhadap kesatuan masyarakat hukum adat dipertegas melalui ketentuan dalam
Pasal 18B ayat (2) yang berbunyi “Negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang
masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.
Dalam
sejarah pengaturan Desa, telah ditetapkan beberapa pengaturan tentang Desa,
yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok Pemerintahan Daerah,
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah,
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah,
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desa Praja Sebagai Bentuk Peralihan
Untuk Mempercepat Terwujudnya Daerah Tingkat III di Seluruh Wilayah Republik
Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok- Pokok Pemerintahan
di Daerah, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa,
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Desa
memiliki hak otonomi asli berdasarkan hukum adat, dapat menentukan susunan
pemerintahan, mengatur dan mengurus rumah tangga, serta memiliki kekayaan dan
aset. oleh karena itu, eksistensi desa perlu ditegaskan untuk mewujudkan
kesejahteraan masyarakat desa. Namun, deregulasi dan penataan desa pasca
beberapa kali amandemen terhadap konstitusi negara serta peraturan
perundangannya menimbulkan perspektif baru tentang pengaturan desa di
Indonesia. Dengan di undangkannya Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 Tentang
Desa , sebagai sebuah kawasan yang otonom memang diberikan hak-hak istimewa,
diantaranya adalah terkait pengelolaan keuangan dan alokasi dana desa,
pemilihan kepala desa serta proses pembangunan desa .
Otonomi
desa merupakan otonomi asli, bulat, dan utuh serta bukan merupakan pemberian
dari pemerintah. Sebaliknya pemerintah berkewajiban menghormati otonomi asli
yang dimiliki oleh desa tersebut. Sebagai kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai susunan asli berdasarkan hak istimewa, desa dapat melakukan perbuatan
hukum baik hukum publik maupun hukum perdata, memiliki kekayaan, harta benda
serta dapat dituntut dan menuntut di muka pengadilan.
Bagi
desa, otonomi yang dimiliki berbeda dengan otonomi yang dimiliki oleh
daerah propinsi maupun daerah kabupaten dan daerah kota. Otonomi yang
dimiliki oleh desa adalah berdasarkan asal-usul dan adat istiadatnya, bukan
berdasarkan penyerahan wewenang dari pemerintah. Desa atau nama lainnya, yang
selanjutnya disebut desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki
kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dalam sistem
pemerintahan nasional dan berada di daerah kabupaten. Landasan pemikiran yang
perlu dikembangkan saat ini adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli,
demokrasi, dan pemberdayaan masyarakat.
Daerah
kabupaten atau kota seuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Otonomi desa merupakan hak, wewenang dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat berdasarkan hak
asal-usul dan nilai-nilai sosial budaya yang ada pada masyarakat untuk tumbuh
dan berkembang mengikuti perkembangan desa tersebut. Urusan pemerintahan
berdasarkan asal-usul desa, urusan yang menjadi wewenang pemerintahan Kabupaten
atau Kota diserahkan pengaturannya kepada desa.
Namun
harus selalu diingat bahwa tiada hak tanpa kewajiban, tiada kewenangan tanpa
tanggungjawab dan tiada kebebasan tanpa batas. Oleh karena itu, dalam
pelaksanaan hak, kewenangan dan kebebasan dalam penyelenggaraan otonomi desa
harus tetap menjunjung nilai-nilai tanggungjawab terhadap Negara Kesatuan
Republik Indonesia dengan menekankan bahwa desa adalah bagian yang tidak
terpisahkan dari bangsa dan negara Indonesia. Pelaksanaan hak, wewenang dan
kebebasan otonomi desa menuntut tanggungjawab untuk memelihara integritas,
persatuan dan kesatuan bangsa dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia
dan tanggungjawab untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang
dilaksanakan dalam koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku .
Menurut
Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa Pasal 18 kewenangan desa meliputi
kewenangan di bidang penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan
pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat
desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat
desa. Dan menurut Pasal 19 Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa
kewenangan desa meliputi:
1. kewenangan berdasarkan hak
asal usul;
2. kewenangan lokal berskala
Desa;
3. kewenangan yang ditugaskan
oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah
4. Kabupaten/Kota; dan
5. kewenangan lain yang
ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah
Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 200 dan 216 menyatakan
bahwa desa di kabupaten/kota memiliki kewenangan-kewenangan yang dapat
diatur secara bersama antara pemerintah desa dan BPD yang dimaksudkan untuk
meningkatkan pelayananan kepada masyarakat. Penyelenggaraan desa yang otonom
dengan kewenangan yang dilimpahkan tersebut pada dasarnya merupakan proses yang
terjadi secara simultan dan berkesinambungan yang memerlukan pengetahuan
aparatur daerah tentang kewenangan mereka, potensi daerah dan menjaring
aspirasi masyarakat di wilayahnya. Yang menjadi pertanyaan apakah otonomi asli
sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tersebut masih
ada di desa-desa Indonesia. Transformasi sosial ekonomi selama enam puluh (60)
tahun sejak Indonesia merdeka menyebabkan banyak perubahan yang signifikan pada
praktek penyelenggaraan pemerintahan desa. Sebagian besar desa-desa di pulau
Jawa telah mengalami perubahan ruang menjadi kota atau desa-kota.
Sementara itu sebagian besar desa-desa di pulau Sumatera mengalami trasnformasi
menjadi desa industri perkebunan, terutama perkebunan sawit dan karet.
Perubahan struktur ekonomi desa kontemporer ini menyebabkan urusan-urusan
pemerintah desa pun mengalami pergeseran dari sektor pertanian ke sektor non
pertanian. Kewenangan atau urusan desa yang dulunya dikenal dengan
otonomi asli pun menjadi hilang dan atau mengalami perubahan bentuk.
Dalam
Undang – Undang No. 32 Tahun 2004 disebutkan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan desa mencakup :
1. urusan pemerintahan
yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa, urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa,
2. tugas pembantuan dari
Pemerintah, Pemerintah provinsi, dan atau pemerintah kabupaten/kota dan yang
terakhir urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-perundangan
diserahkan kepada desa. Tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi,
dan/atau pemerintah Kabupaten/kota kepada desa disertai dengan pembiayaan, sarana
dan prasarana, serta sumber daya manusia.
Dalam
pengaturan perundangan, pemerintah desa selalu disebutkan terdiri dari 2 (dua)
unsur yaitu kepala pemerintahan dan wakil-wakil rakyat. Dalam Undang – Undang
No. 19 tahun 1965 pemerintahan desa terdiri atas Kepala Desa dan Badan
Musyawarah Desa, dan pada Undang – Undang No. 5 tahun 1979 pemerintah desa
terdiri dari Kepala Desa dan Lembaga Musyawarah Desa. Sedangkan di bawah Undang
– Undang No. 22 tahun 1999 pemerintahan desa terdiri dari Pemerintah Desa dan Badan
Perwakilan Desa, dan Pemerintah Desa terdiri atas Kepala Desa atau yang disebut
dengan nama lain dan Perangkat Desa dan menurut Undang – Undang No. 32 Tahun
2004 pemerintahan desa terdiri atas kepala desa dan perangkat desa
Dari
keempat Undang – Undang tersebut kelihatannya terjadi “fluktuasi” otonomi desa.
Pada Undang – Undang yang pertama disebutkan adanya badan musyawarah desa yang
secara tegas sebagai lembaga perwakilan rakyat, sehingga anggota-anggotanya
dipilih langsung oleh warga masyarakat; sementara pada UU yang kedua LMD
hanyalah lembaga musyawarah yang anggota-anggotanya tidak dipilih oleh rakyat
akan tetapi diangkat lebih karena pilihan atau penunjukan Kepala Desa sendiri
dan Kepala Desa secara otomatis menjadi ketua LMD. Lain halnya pada Undang –
Undang No. 22 tahun 1999 dimana otonomi desa sedemikian luasnya, sehingga desa
diberikan keleluasaan untuk mengadakan kegitan yang dapat dipakai untuk
meningkatkan dan mendapatkan hasil-hasil atau dana yang bisa dipakai untuk
membiayai kegiatan-kegiatannya.
Demikian
halnya pada Undang – Undang No. 32 Tahun 2004, lembaga musyawarah desa berubah
menjadi badan permusyawaratan desa yang berfungsi menetapkan peraturan desa
bersama kepala desa, menampung dan menyatukan aspirasi masyarakat. Anggota
badan permusyawaratan desa aadalah wakil dari penduduk desa yang bersangkutan
yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat. Selain Badan
Permusyawaratan Desa menurut undang-undang ini juga dapat dibentuk lembaga
kemasyarakatan yang ditetapkan dengan peraturan desa yang berpedoman pada
peraturan perundang-undangan, lembaga ini bertugas membantu pemerintahan desa
dan merupakan mitra dalam memberdayakan masyarakat desa.
Menurut
Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa Pasal 18 Kewenangan Desa meliputi
kewenangan di bidang penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan
Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa
berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat Desa. Dan
menurut Pasal 19 Kewenangan Desa meliputi:
1. kewenangan berdasarkan hak
asal usul;
2. kewenangan lokal berskala
Desa;
3. kewenangan yang ditugaskan
oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota; dan
4. kewenangan lain yang
ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pencermatan
lebih mendalam menunjukkan bahwa konflik penguasaan kewenangan terutama disebabkan
karena adanya kewenangan yang menghasilkan penerimaan, yaitu adanya
kecenderungan perebutan kewenangan antar tingkatan pemerintahan untuk
memperoleh sumber-sumber keuangan yang berasal dari kewenangan tersebut.
Kewenangan-kewenangan yang menghasilkan sumber penerimaan cenderung bermasalah,
sedangkan kewenangan yang kurang menghasilkan penerimaan dan atau
memerlukan biaya cenderung untuk dihindari.
Friksi
pada dasarnya berpangkal dari siapa yang mempunyai kewenangan secara hukum atas
hal yang disengketakan tersebut. Motif utama yang mendorong bukanlah
persoalan untuk memberikan pelayanan masyarakat pada hal yang disengketakan
tersebut, namun lebih pada bagaimana menguasai sumber-sumber pendapatan yang
dihasilkan dari kewenangan yang disengketakan tersebut. Daerah menganggap bahwa
dengan adanya otonomi maka kebutuhan uang mereka menjadi tidak terbatas,
sedangkan PAD dan DAU terbatas sehingga hal tersebut menarik mereka untuk
menambah sumber-sumber penerimaan dari penguasaan obyek-obyek yang dapat menghasilkan
tambahan penerimaan daerah.
Analisis
yang lebih fundamental mengindikasikan bahwa keberadaan unit pemerintahan
daerah bertujuan unuk melayani kebutuhan masyarakat (public service).
Ini berarti tiap daerah akan mempunyai keunikan sendiri-sendiri baik dari aspek
penduduk, maupun karakter geografisnya. Masyarakat pantai dengan mata
pencaharian utama di perikanan akan berbeda dengan masyarakat pegunungan,
ataupun masyarakat pedalaman. Masyarakat pedesaan akan berbeda kebutuhannya
dengan masyarakat daerah perkotaan. Apabila keberadaan Pemda untuk melayani
kebutuhan masyarakat, maka konsekuensinya urusan yang dilimpahkanpun seyogyanya
berbeda pula dari satu daerah dengan daerah lainnya sesuai dengan perbedaan
karakter geografis dan mata pencaharian utama penduduknya. Adalah sangat tidak
logis apabila di sebuah daerah kota sekarang ini masih dijumpai urusan-urusan
pertanian, perikanan, peternakan, dan urusan-urusan yang berkaitan dengan
kegiatan primer. Pelimpahan urusan otonomi yang sesuai dengan kebutuhannya.
Untuk itu analisis kebutuhan (need assessment) merupakan suatu
keharusan sebelum urusan itu diserahkan ke suatu daerah otonom.
Pada
dasarnya kebutuhan rakyat dapat dikelompokkan kedalam dua hal yaitu :
1. Kebutuhan dasar (basic
needs) seperti air, kesehatan, pendidikan, lingkungan, keamanan, dsb;
2. Kebutuhan pengembangan
usaha masyarakat seperti pertanian, perkebunan, perdagangan, industri dan
sebagainya;
Dalam
konteks otonomi, daerah dan desa harus mempunyai kewenangan untuk mengurus
urusan-urusan yang berkaitan dengan kedua kelompok kebutuhan diatas. Kelompok
kebutuhan dasar adalah hampir sama diseluruh Indonesia hanya gradasi
kebutuhannya saja yang berbeda. Sedangkan kebutuhan pengembangan usaha penduduk
sangat erat kaitannya dengan karakter daerah, pola pemanfaatan lahan dan mata
pencaharian penduduk.
Berbeda
dengan negara maju dimana pembangunan usaha sebagian besar sudah dijalankan
oleh pihak swasta, maka di Negara Indonesia sebagai negara berkembang, peran
pemerintah masih sangat diharapkan untuk menggerakkan usaha masyarakat.
Kewenangan untuk menggerakkan usaha atau ekonomi masyarakat masih sangat
diharapkan dari pemerintah. Pemda di negara maju lebih beerorientasi untuk
menyediakan kebutuhan dasar (basic services) masyarakat. Untuk
itu, maka Pemda di Indonesia mempunyai kewenangan (otonomi) untuk menyediakan
pelayanan kebutuhan dasar dan pelayanan pengembangan usaha ekonomi masyarakat
lokal.
Dalam
memberikan otonomi untuk pelayanan kebutuhan dasar dan pelayanan pengembangan
usaha ekonomi masyarakat, ada tiga hal yang perlu dipertimbangkan yaitu :
1. Economies of scale : bahwa
penyerahan urusan itu akan menciptakan efisiensi, efektifitas dan ekonomis
dalam penyelenggaraanya. Ini berkaitaan dengan economies of scale (skala
ekonomis) dalam pemberian pelayanan tersebut. Untuk itu harus ada kesesuaian
antara skala ekonomis dengan catchment area (cakupan daerah
pelayanan). Persoalannya adalah sejauhmana skala ekonomis itu sesuai dengan
batas-batas wilayah administrasi Pemda yang sudah ada. Makin luas wilayah yang
diperlukan untuk mencapai skala ekonomis akan makin tinggi otoritas yang
diperlukan. Bandara dan pelabuhan yang cakupan pelayanannya antar provinsi
adalah menjadi tanggung jawab nasional.
2. Akuntabilitas : bahwa penyerahan
urusan tersebut akan menciptakan akuntabilitas pemda pada masyarakat. Ini
berarti bagaimana mendekatkan pelayanan tersebut kepada masyarakat. Makin dekat
unit pemerintaahan yang memberikan pelayanan kepada masyaarakat akan makin
mendukung akuntabilitas.
3. Eksternalitas : dampak yang
ditimbulkan oleh kegiatan yang memerlukan pelayanan tersebut. Eksternalitas
sangat terkait dengan akuntabilitas. Makin luas eksternalitas yang ditimbulkan
akan makin tinggi otoritas yang diperlukan untuk menangani urusan tersebut.
Contoh, sungai atau hutan yang mempunyai eksternalitas regional seyogyanya
menjadi tanggung jawab Provinsi untuk mengurusnya.